Minggu, 23 Januari 2011

Mbah Hamid Pasuruan

Kiai Hamid (Mbah Hamid) dianugrahi (karomah) mengetahui apa yang ada di benak orang. Misykat misalnya, dia sering tertebak apa yang ada dibenaknya. “Beliau tahu apa maunya orang,” katanya. “Saya kalau ada apa-apa belum bilang beliau sudah menjawab”.

Hal yang sama dialami Gus Shobich Ubay, Ahmad Afandi, Syamsul Huda, Gus Hadi Ahmad, dll. Rata-rata mereka punya pengalaman, sebelum sempat mengadu, diberi jawaban terlebih dahulu.

Said Amdad Pasuruan, dulunya tidak percaya pada wali. Dia orang rasional. Mendengar kewalian Kiai Hamid yang tersohor kemana-mana, dia jadi penasaran. Suatu kali ia ingin mengetes, “Saya ingin diberi makan Kiai hamid. Coba dia tahu apa tidak” katanya dalam hati ketika pulang dari Surabaya. Setiba di Pasuruan dia langsung ke pondok Salafiyah pesantrennya Kiai Hamid.

Waktu itu pas mau jamaah sholat isya’. Usai sholat isya ia tidak langsung keluar, membaca wirid dulu. Sekitar pukul 20.30 WIB, jamaah sudah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan. Dia melangkah keluar, Dia melihat orang melambaikan tangan dari rumah Kiai Hamid. Dia pun menghampiri. Ternyata yang melambaikan tangan adalah tuan rumah alias Kiai Hamid. “Makan disini ya,” kata beliau.

Diruang tengah hidangan sudah ditata. “Maaf ya, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang dulu sih” kata Kiai Hamid dengan ramahnya. Said merasa di sindir, sejak itu dia percaya Kiai hamid adalah seorang wali.

Kambing Mau Datang, Kiai Hamid Tahu

Kiai Hamid adalah seorang yang kasyaf. Berkat kasyaf-nya atau kemampuan clairvoyance ini, beliau bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Suatu kali Misykat di beri pisang oleh Kiai Hamid. “Ini makan, kulitnya kasihkan kambing” katanya. Padahal tidak ada kambing, ya kulitnya dia buang. Habis ashar dia dipanggil “Mana kulit pisangnya?” tanyanya. “Saya buang, Yai” jawabnya. “Lho, disuruh kasihkan kambing kambing tapi kok di buang” kata Kiai Hamid. Ternyata tidak lama kemudian ada orang mengantar kambing.

Pada kali yang lain misykat disuruh menyediakan lauk daging ayam. “Bilang sama Nyai, Yai ingin makan ayam” katanya. “Tidak ada daging ayam besok aja kita motong”, kata Nyai. Lepas maghrib misykat dipanggil lagi. “Lihat diatas meja itu kan daging ayam” kata beliau. Ternyata betul diatas meja ada daging ayam yang baru saja diantar orang.

Tiba-tiba ada yang pulang

Suatu malam beliau pergi ke Madura bersama keluarga dalam satu mobil. Beliau, Nyai Nafisah dan Gus Idris. Sampai di pelabuhan Tanjung Perak, ternyata sudah 15 mobil yang antri. Sementara kapal yang hendak mengangkut mereka belum datang, Kapal tersebut adalah kapal terakhir dalam jadwal hari itu. Padahal satu kapal hanya bisa memuat 15 mobil. Kiai Hamid menyuruh kang Said, sopir, tetap disitu. Eh, tahu-tahu mobil di depannya memutar balik, mungkin tak sabar menunggu atau apa.

Masih cerita Gus Idris, Mahfuzh Hafizh Surabaya mau pergi haji. Oleh Kiai Hamid ia dibekali 3 biji kurma. Disuruh menanam di Makkah. Sebelum berangkat, temannya di Jakarta yang juga mau berangkat ke Makkah, memaksa minta satu biji kurma tadi. Terpaksa diberikan. Di Makkah mahfuzh mendapat musibah, ayah dan adiknya meninggal dunia. Sedangkan dari rombongan temannya dari Jakarta tadi, ada seorang yang wafat di tanah suci.

Asmawi Memanen Uang

Asmawi gundah gulana. Ia harus membayar hutang yang jatuh tempo. Jumlahnya Rp. 300.000,- jumlah itu sangat besar untuk ukuran waktu itu. Hutang itu buat pembangunan masjid.

Asmawi sempat menangis saking sedihnya. Darimana ia bisa memperoleh uang sebanyak itu? Pikirannya jadi buntu. Dia melapor ke Kiai Hamid. “Laopo nangis sik onok yai, (mengapa menangis masih ada kiai)” beliau menghibur.

Lalu Kiai menyuruh menggoyang-goyangkan pohon kelengkeng di depan rumah beliau. Daun-daun yang berguguran disuruh ambil, diserahkan kepada Kiai Hamid. Beliau meletakan tangannya dibelakang tubuh, terus memasukannya ke saku. Begitu dikeluarkan ternyata daun-daun di tangannya berubah menjadi uang kertas.

Beliau menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng satunya lagi. Daunnya diambil, terus tangan beliau dibawa kebelakang tubuh (punggung) lalu dimasukkkan ke saku dan daun-daunnya sudah menjadi uang kertas. Setelah dihitung ternyata jumlahnya Rp 225.000,- Alhamdulilah masih kurang Rp. 75.000,- Tiba-tiba ada tamu datang memberi Kia Hamid Rp. 75.000,- jadi pas.

Mengoperasi perut

Gus Zaki di serang penyakit maag yang parah. Serasa tak kuat, ia sampai menggelepar-gelepar. Semua anggota keluarga datang mendoakan. Kiai aqib, Nyai Nafisah hamid, Nyai Maryam Ahmad Sahal, Kiai Ahmad Sahal. Semua sudah menjenguk kecuali Kiai Hamid. Dokter Ham sudah dipanggil.

Karena sakitnya masih tak ketulungan, Guz Zaki menyuruh orang untuk memanggil dr. Ham lagi. “Buat apa? Suntik sudah, obat sudah, sekarang ya sabar aja.” Kata dr. Ham. Dia tidak mau datang.

Sekitar pukul 23:30 WIB, Maimunah istrinya yang setia menunggu pergi ke dapur untuk merebus air. Sebab air dibotol sudah dingin (oh ya, untuk mengurangi rasa sakit, botol berisi air hangat tersebut ditempel di perut).

Ketika di tinggal sendirian itulah Gus Zaki dikejutkan oleh kedatangan Kiai Hamid yang begitu tiba-tiba di dalam kamar. Entah darimana masuknya beliau. Setelah mengubah posisi kursi dan bantal beliau memperhatikan telapak tangan itu seperti ada kabel-kabel. “Ini biar saya ganti saja ya, sudah lapuk,” katanya. Entah apa maksudnya lantas telapak tangan kanan itu ditempelkan ke perut Gus Zaki. Tiba-tiba ia merasakan perutnya enakan, hingga hilang rasa sakitnya. Di suruh duduk, eh ternyata tidak apa-apa. Padahal sebelumnya, bergerak sedikit saja sudah sakit.

“Keburu ada orang ini biarkan saja Ki (Zaki), nanti nyambung sendiri.” Kata beliau menunjuk perut Gas Zaki, sebelum bergeser pergi. Setelah di tinggal pergi barulah Gus Zaki merasakan kejanggalan. “Darimana masuknya beliau?” pikir dia. Apa betul itu Kiai Hamid, kok nggak ngasih uang? Sebab biasanya Kiai Hamid tidak pernah absen memberi uang”.

Sejurus kemudian Ning Muna masuk kamar dia kaget melihat suaminya sudah bisa duduk. “Sampeyan ini bagaimana kok sudah bisa duduk,” tegurnya. Dia lebih sewot lagi melihat posisi kursi dan bantal yang sudah tidak karuan, “kalau jatuh bagaimana?” pikirnya. “Ini siapa yang mindah?” tanyanya.

Gus Zaki yang masih bengong tidak menggubris kata istrinya. “Coba kamu lihat pintu depan dan pintu belakang” katanya. Dengan penuh tanda tanya Ning Muna menurut.

“Semua terkunci, memangnya ada apa?” tanyanya begitu kembali. “Barusan ada Kiai Hamid” jawab Gus Zaki sambil menceritakan semua yang dialaminya.

Esoknya habis sholat subuh Kiai Hamid datang. “Bagaimana keadaanmu?” tanya beliau. “Alhamdulilah, sudah baik, iya tadi malam…” sampai disitu kata-katanya dipotong oleh Kiai Hamid.”Sudah, sudah…” kata beliau sambil meletakan telunjuk tangannya di mulut. Beliau lalu memberi Gus Zaki uang Rp. 500,- lantas pergi lagi. Gus Zaki berpikir rupanya beliau membayar “utangnya” tadi malam.

KH. Abdul Hamid dan Pondok Pesantren Al Hikam, Malang

Disamping memiliki jabatan sebagai Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi adalah juga pimpinan pondok pesantren Al Hikam, Malang. Sebelum pondok pesantren Al Hikam berdiri, KH. Abdul Hamid pernah berkata kepada KH. Anwar, Bululawang, bahwa kelak suatu hari KH. Hasyim Muzadi akan membangun pondok pesantrennya di sebelah utara rumahnya.

Kebenaran dari ucapan KH. Abdul Hamid tersebut sekarang terbukti, yaitu KH. Hasyim Muzadi akhirnya menjadi pimpinan pondok pesantren yang beliau bangun tepat disebelah utara rumahnya, hal ini persis seperti yang dikatakan oleh KH. Abdul Hamid kepada KH. Anwar, Bululawang. Padahal tanah yang saat ini menjadi lokasi pondok pesantren yang dipimpin oleh K.H Hasyim Muzadi pada awalnya adalah tanah milik orang lain

Sumber: Biografi KH. Abdul Hamid Pasuruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar